Peningkatan penggunaan obat-obatan, baik yang dilakukan secara mandiri (self-medication), polifarmasi pada lansia, maupun meningkatnya kasus HIV/AIDS, diperkirakan akan meningkatkan jumlah kejadian efek samping obat (ESO). Kulit menjadi salah satu organ yang paling sering terpengaruh oleh efek samping obat. Berdasarkan data dari BPOM, manifestasi ESO pada kulit tercatat sebagai yang paling sering terjadi, mencapai sekitar 35%, diikuti https://www.motelkissme.com/ oleh gejala sistemik sekitar 20%, dan gangguan pada saluran cerna sekitar 17%. Sayangnya, data ESO terkait manifestasi pada kulit secara nasional hingga saat ini masih terbatas. Selain itu, sistem monitoring efek samping obat (MESO) yang dikembangkan oleh BPOM juga belum dapat mencerminkan keadaan sebenarnya.
Kurangnya Data dan Pemantauan
Data terkait manifestasi ESO pada populasi khusus seperti imunokompromais, anak-anak, dan lansia masih belum tercatat dengan baik. Hal ini juga terkait dengan peningkatan konsumsi obat, baik yang diresepkan dokter maupun yang dibeli secara mandiri. Di sisi lain, efek samping pada kulit juga semakin sering ditemukan pada pasien yang menjalani kemoterapi, radioterapi, dan prosedur radiodiagnostik.
Kolaborasi untuk Penanggulangan ESO
Menanggapi hal ini, Departemen Dermatologi dan Venereologi FKKMK UGM bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) cabang Yogyakarta menyelenggarakan simposium dan workshop bertema “Updates on Adverse Cutaneous Drug Reactions: From Basic to Clinic”. Kegiatan ini diadakan pada 17-19 Maret 2023 sebagai bagian dari Dies Natalis ke-77 FKKMK UGM. Dr. Sri Awalia Febriana, M.Kes, Sp.KK(K), Ph.D., mengungkapkan pentingnya penerapan pharmacovigilance untuk menjamin keamanan obat yang beredar, sekaligus memperkenalkan registri nasional InaSCAR (Indonesian Severe Cutaneous Adverse Reactions) yang akan menjadi pusat data epidemiologi, diagnostik, serta manajemen efek samping obat.
Baca Juga : https://www.epicpharmacyokc.com/pentingnya-peran-farmasi-dalam-peningkatan-pelayanan-kesehatan/
Klasifikasi Efek Samping Obat pada Kulit
Dr. Sri Awalia menjelaskan bahwa klasifikasi ESO terbagi menjadi dua tipe reaksi: tipe A (on-target) dan tipe B (off-target). Tipe A adalah efek samping yang dapat diprediksi dan sering kali tercantum dalam kemasan obat. Sementara itu, tipe B mencakup efek samping yang lebih jarang terjadi dan tidak dapat diprediksi, seperti hipersensitivitas obat. Manifestasi klinis ESO pada kulit dibagi menjadi dua kategori: ringan (misalnya, erupsi makulopapular, urtikaria, dan erupsi obat fikstum) dan berat (misalnya, SSJ-NET, AGEP, dan DRESS). Efek samping pada kulit dapat muncul dalam rentang waktu dari beberapa jam hingga beberapa bulan setelah mengonsumsi obat yang dicurigai.
Dampak Berat pada Pasien
Meskipun sebagian besar ESO bersifat ringan, sekitar 1 dari 1.000 pasien dapat mengalami gejala yang lebih berat dan berpotensi mengancam jiwa. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia antara tahun 2015 hingga 2017, sebanyak 67% dari kasus ESO terjadi pada pasien dewasa berusia 19 hingga 54 tahun. Sisanya terjadi pada lansia dan anak-anak. Diagnosis ESO dapat ditegakkan dengan cara menggali riwayat kesehatan pasien, melakukan pemeriksaan laboratorium, histopatologi, serta pemeriksaan penunjang lainnya, seperti uji tusuk.
Faktor Risiko pada Populasi Khusus
Pada pasien lansia, ESO sering dipengaruhi oleh faktor komorbiditas, lingkungan, serta polifarmasi, yang menjadi tantangan dalam pengobatan. Sementara itu, pada anak-anak, ESO sering kali disebabkan oleh obat anti-infeksi, dengan tanda klinis yang bisa berupa ruam kulit, muntah, pusing, dan diare. Diagnosis dini, penghentian obat yang menyebabkan ESO berat, serta edukasi kepada orang tua dan pengasuh sangat penting dalam pengelolaan ESO pada anak-anak.
Efek Samping pada Pasien HIV dan Kanker
Simposium ini juga membahas bagaimana obat-obat yang digunakan dalam pengobatan HIV dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas obat, termasuk alergi. Selain itu, efek samping pada kulit juga sering terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Politerapi yang dilakukan dalam pengobatan kanker seringkali memunculkan efek samping kulit yang berbeda-beda, seperti kerontokan rambut, perubahan warna kulit dan kuku, peradangan mukosa, serta kulit yang kering.
Penanganan Efek Samping Obat pada Kulit
Penanganan efek samping obat pada kulit memerlukan diagnosis yang tepat, penghentian obat yang memicu reaksi buruk, serta intervensi medis yang cepat. Edukasi kepada pasien dan keluarga, terutama pada anak-anak dan lansia, sangat krusial untuk mengurangi dampak negatif pada kualitas hidup pasien yang mengalami ESO.
Dengan peningkatan pemahaman dan penanganan yang lebih baik, diharapkan dampak penggunaan obat terhadap kulit dapat diminimalisir, dan pasien dapat mendapatkan pengobatan yang lebih aman dan efektif.